Suaralampung.com, Purwokerto --
Kementerian Hukum dan HAM menjanjikan perlindungan hukum bagi seluruh petugas pemasyarakatan yang menangani narapidana (napi) tindak pidana terorisme. Jaminan tersebut disampaikan Kepala Biro (Karo) Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan HAM Heni Susila Wardoyo pada Rapat Koordinasi Fasilitasi Pengamanan Petugas Pemasyarakatan dalam Penanganan Tindak Terorisme di Hotel Java Heritage, Purwokerto (02/06)
Rapat koordinasi ini diprakarsai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai koordinator kementerian/ lembaga dalam penanganan tindak pidana terorisme. "Bapak Ibu petugas pemasyarakatan tidak usah takut dengan pelanggaran HAM selama menjalankan tugas sesuai aturan yang ada. Justru ketika Bapak Ibu menjalankan tugas, itu berarti sedang menjalankan HAM," Kepala Biro (Karo) Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan HAM Heni Susila Wardoyoujar Heni pada Rapat Koordinasi Fasilitasi Pengamanan Petugas Pemasyarakatan dalam Penanganan Tindak Terorisme di Purwokerto (02/06) yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Garansi Karo Humas, Hukum, dan Kerja Sama tersebut berdasar pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja (Orta) dimana pada Pasal 104 disebutkan bahwa Bagian Layanan Advokasi Hukum (LAH) memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan advokasi hukum kementerian. Aturan tersebut diperkuat lagi dengan terbitnya Permenkumham Nomor 66 Tahun 2016 tentang Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Dengan kedua aturan tersebut, seluruh pegawai Kementerian Hukum dan HAM berhak mendapatkan bantuan hukum dari kuasa hukum kementerian, termasuk petugas pemasyarakatan yang menangani tindak pidana terorisme.
Selain bantuan hukum secara internal dari Kementerian Hukum dan HAM, perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan juga sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan. PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pada rapat koordinasi ini turut hadir sebagai narasumber Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Batu Jalu Yuswa Panjang, Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas IIA Purwokerto yang diwakili oleh Pembimbing Kemasyarakatan Madya Hadi Prasetyo, dan Kepala Bapas Kelas IIA Nusakambangan yang diwakili oleh Kepala Sub Seksi Bimbingan Klien Dewasa Raden Adhi Hindarto, dengan dimoderatori Direktur Penegakan Hukum BNPT Brigjen Edy Hartono. Jalu menjelaskan bahwa petugas pemasyarakatan kerap mendapatkan ancaman bukan hanya di kantor, melainkan juga di rumah. Alhasil, petugas pemasyarakatan membutuhkan dukungan lebih pada segi komumikasi dan keamanan.
"Nusa Kambangan terkenal sebagai daerah yang hilang sinyal (telepon seluler). Karena itu, kami membutuhkan alat komunikasi yang sangat tidak terbatas. Saat ini yang dimanfaatkan hanya handy talkie (HT)," ucapnya. Jalu menambahkan bahwa petugas pemasyarakatan juga membutuhkan senjata yang bersifat melumpuhkan sementara dalam menjaga keselamatan diri mereka. "Kalau pun saat ini ada yang punya, itu karena beli sendiri. Kami sudah meminta kepada Ditjen Pemasyarakatan namun belum dipenuhi," kata Jalu.
Selain faktor komunikasi dan keamanan, Kepala Lapas Kelas IIA Pasir Putih Fajar Nur Cahyono pada sesi diskusi menekankan bahwa pada penanganan tindak pidana terorisme yang juga dibutuhkan adalah koordinasi yang kuat. "Harapan kami negara benar-benar hadir dalam penanganan tindak pidana terorisme ini melalui BNPT. Secara teknis, kami membutuhkan contact person yang bisa kami hubungi," ujarnya. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan pendapat Kepala Polsek Nusa Kambangan Widyantoro yang juga meminta koordinasi agar lebih mudah. Lebih lanjut Widyantoro menyatakan bahwa instansinya memiliki peran dalam penanganan tindak pidana terorisme namun seakan-akan pernah jelas harus berperan seperti apa dan bagaimana.
"Selama ini tidak ada koordinasi yang jelas. Kami juga meminta contact person dalam penanganan terorisme ini," jelasnya. Menutup rapat koordinator tersebut, Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama menekankan kembali kepada seluruh peserta rapat koordinasi bahwa sebagai aparatur pemerintah sudah seyogyanya untuk saling mendukung. "Pemerintah harus solid. Jangan sampai ada kementerian/ lembaga yang saling mencibir. Ketika suatu kementerian/ lembaga yang sudah diamanatkan suatu tugas namun tidak dijalankan, yang salah bukan instansinya, namun pimpinannya," tegas Heni. (Tik/Rls)