Way Kanan, Sepulang menyaksikan pagelaran Wayang Kulit di Natar, Hajimena, Lampung Selatan, pada Selasa (18/7/23), Anggota DPD RI Bustami Zainudin menulis catatan kecil untuk merefleksikan suasana kebatinan yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya usai menikmati pagelaran perayaan menyambut Tahun Baru 1445 H atau oleh masyarakat Jawa dikenal sebagai malam suroan.
Sebenarnya, itu cuma catatan biasa, namun terasa seperti menampar muka, betapa sesungguhnya kita sudah mulai lupa dengan adat tradisi budaya yang agung dan asli milik bangsa Indonesia.
Harus diakui, belakangan ini pertunjukkan Wayang Kulit jarang digelar dalam kegiatan malam suroan. Kesukaan kaum milenial terhadap seni budaya leluhur tersebut juga mulai terkikis oleh sebab perubahan zaman yang cenderung hedonis sehingga menganggap Wayang Kulit adalah pertujukan kampungan yang hanya pantas disaksikan oleh 'embah-embah'.
"Aduh, jangan sampai budaya yang agung dan asli milik bangsa kita itu punah. Itu tidak boleh terjadi dan semua pihak harus berusaha untuk melestarikannya," tulis Bustami dalam catatannya yang dia sampaikan ke redaksi Haluan Lampung, Rabu (19/7/23).
"Seperti acara malam suroan kemarin itu, itukan sudah biasa kita lakukan sebagai upaya untuk melestarikan budaya sekaligus ajang silaturahim serta berdoa kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa agar pada tahun berikutnya diberikan keberkahan, kesehatan, keselamatan dan lainnya. Itu positif sekali dan harus dilestarikan," kata Bustami melanjutkan.
Bustami mengaku menghadiri acara yang digelar di Hajimena, Natar, Kabupaten Lampung Selatan pada Selasa (18/7) malam dan melihat ada "kehausan" dari warga akan kegiatan budaya yang sempat terhenti beberapa tahun akibat pandemi.
"Saya lihat ada kerinduan dari warga akan tampilan budaya, khususnya wayang kulit. Mereka tampak menikmatinya," kata Bustami yang juga mantan Bupati Waykanan itu.
Sementara itu, mewakili tamu yang juga mantan Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Lampung Prof. Dr. Ir. Sugeng P Hariyanto mengatakan pagelaran wayang kulit tersebut, selain untuk meneruskan budaya juga sebagai ajang silaturahim.
"Selain menyaksikan pagelaran wayang kulit sekaligus ruwatan, juga untuk silaturahim," katanya.
Tuan rumah penyelenggara Drs. H Soegiarso mengatakan kegiatan ruwatan 1 Suro sering terselenggara di sana, namun sempat terhenti hampir enam tahun termasuk di era pandemi COVID-19.
"Ini bukan semata untuk kegiatan budaya, tetapi juga untuk bersilaturahim sekaligus berdoa memohon kepada Allah agar di tahun berikutnya selalu diberikan kemudahan, kesehatan dan yang baik-baik lainnya," katanya.
Menurut mantan Rektor Unila dan juga pernah menjabat sebagai Ketua Pepadi Lampung itu, upaya pelestarian budaya, khususnya wayang kulit di Lampung berjalan baik.
"Kini muncul dalang-dalang muda yang akan meneruskan dan melestarikan wayang kulit," kata pemilik sanggar seni "Klampis Ireng" itu sembari menembangkan kidung yang berisi doa.
Pada pagelaran tersebut, juga mengajak sinden-sinden lain yang hadir untuk menembang, bahkan ada penonton yang ikut berjoget ala pemain wayang orang meski mengenakan baju batik dan berkopiah hitam.
Suasana gembira terus berjalan, apalagi sang dalang mengajak sinden bercengkerama dengan kata-kata lucu yang ditimpali gelak tawa warga yang hadir.
Sejumlah tamu dan penonton pulang setelah dalang ruwatan menyelesaikan tugasnya. Namun, ada yang masih bertahan untuk menyaksikan tampilan wayang kulit hingga menjelang pagi.
Acara tersebut Hadiri oleh, Edyati Oemarsono, istri mantan Gubernur Lampung Oemarsono dan sejumlah pecinta wayang kulit dari beberapa kabupaten dan kota.
(***)