Saatnya Budaya Lampung Jadi Tuan Rumah di “Negeri Sendiri”

Iklan

Saatnya Budaya Lampung Jadi Tuan Rumah di “Negeri Sendiri”

Redaksi
Kamis, Juli 20, 2017 | 22:10 WIB 0 Views Last Updated 2017-07-20T15:10:33Z

Suaralampung.Com, Lampung Tengah –  Peringatan hari ulang tahun (HUT) Lampung Tengah ke-71 melahirkan sejarah bagi masyarakat Lampung Tengah. Dari perhelatan Gawi Agung Bejuluk Beadek, Rabu, 19/7/2017, kebudayaan Lampung dari 9 kebuayan Jurai Siwo yang selama ini seolah tenggelam akhirnya berhasil dikenalkan secara luas ke masyarakat.

Sebagai upaya pelestarian budaya Lampung, Bupati Lampung Tengah DR. Ir. Mustafa bakal menjadikan Gawi Agung sebagai even tahunan. Usai menerima gelar adat, Mustafa meminta kepada 311 tokoh masyarakat yang telah diberi gelar adat agar dapat melestarikan budaya Lampung secara luas. 

"Selama ini masih banyak masyarakat yang belum mengenal adat istiadat dan kebudayaan Lampung. Kini saatnya, kita tunjukan bahwa kita punya kebudayaan yang patut kita banggakan dan harus kita lestarikan," ujar Mustafa.

Diikuti ribuan masyarakat dari berbagai elemen, Gawi Agung Bejuluk Beadek berlangsung lancar dan meriah. Acara dibuka oleh tarian kolosal Tali Kiang Anak Tuha oleh pelajar-pelajar Lampung Tengah. Tarian ini menceritakan perjalanan masyarakat Lampung di Lampung Tengah.

Usai pertunjukan tari kolosal, Bupati Lampung Tengah DR. Ir. Mustafa, Wakil Bupati Loekman Djojosoemarto berserta 311 tokoh masyarakat penerima gelar adat diarak dari lapangan Merdeka menuju Gedung Sesat Agung Nuwo Balak lalu dilanjutkan ke Villa Nuwo Tukho Nurdin.

Arak-arak dilakukan dari sembilan kebuayan yakni Nunyai,  Unyie,  Subing, Nuban, Beliuk, Selagai, Anak Tuha,  Nyerupo dan Pubian. Di Villa Nurdin dilakukan prosesi tari penganggik wajib dari 9 marga atau dikenal dengan tari siang, yakni tarian antara laki dan perempuan berpasangan dari 9 kebuayan yang ada.

Usai itu dilanjutkan dengan besekhak beasah, lalu dinaikkan ke kelunjuk untuk melakukan besekhak baru dilakukan beasah atau pangor. Ini menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa.

"Usai itu mereka diberi juluk atau nama panggilan anak penyimbang untuk anak laki-laki. Usai juluk dilanjutkan dengan temu dilunjuk dan turun mandi," terang ketua panitia penyelenggara kegiatan, Muhtaridi Putra Negara.

Muhtaridi melanjutkan, dalam prosesi itu, laki-laki naik lunjuk berpasangan kemudian mereka dinaikkan diatas kepala kerbau dan disiram air. Dilanjutkan musek (suap) terakhir dari saudara dan orang tua, setelahnya baru pemberian adok (nama) untuk perempuan.

Acara dilanjutkan dengan turun mandi atau bersih, dimana laki-laki memegang payan (nampan) dan ambil wudhu untuk bersih-bersih. Lalu disambung dengan kegiatan yang menjadi ciri khas adat Lampung, yaitu unduh buah pinang. Ini menyimbolkan sudah berakhirnya masa lajang.

"Usai turun mandi mereka diarak lagi ke nuwo dengan naik jepano. Kemudian mempersiapkan diri menggunakan kawai balak, kepiah balak dan punduk. Sampai Nuwo dilanjutkan dengan naik dipano berpasangan dan nari ramik, serta nari tuho/tari munggah bumie," paparnya. 

Acara Gawi Agung ditutup di Sesat Agung Nuwo Balak dengan pemberian adok kepada 311 tokoh masyarakat. Mereka diberi adok suttan yang disesuaikan dengan kebuaian untuk menjadi suttan di wilayahnya masing-masing. (Tri/rls)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Saatnya Budaya Lampung Jadi Tuan Rumah di “Negeri Sendiri”

Trending Now

Iklan

iklan