Suaralampung.com-Tanggamus-Soal dugaan Pungli atas Program PTSL yang terjadi di Pekon Ketapang, Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus hingga saat ini tidak ada kepastian mengenai legalitas peraturan pekon yang menjadi dasar penentuan tarif PTSL menjadi Rp700 Ribu hingga Rp1 Juta. LSM GMBI Wilter Lampung ambil sikap dengan melayangkan surat klarifikasi resmi ke Kejaksaan dan Pemkab, dengan tujuan penegakan hukum ditengah masyarakat kecil.
Sikap tersebut, diambil atas tindak lanjut sebelumnya LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Tanggamus bersama Jajaran pengurus GMBI Wilter Lampung, datangi Kejari dan Pemkab setempat, guna sampaikan aspirasinya soal dugaan Pungli atas program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), oleh Kelompok masyarakat (Pokmas) Pekon Ketapang, Kecamatan Limau, Tanggamus. Rabu 30 Januari 2019.
"Masalah PTSL itu, pihak GMBI akan segera layangkan surat dalam format klarifikasi ke Kejari dan Pemkab dalam hal ini Bupati Tanggamus. Tujuannya sebagai bentuk sikap GMBI meminta penegakan hukum di Tanggamus benar-benar tegak untuk masyarakat kecil, jangan terkesan keberpihakan,"demikian disampaikan Divpam GMBI Wilter Lampung, Ipung Indrawan bersama Kabiro Hukum GMBI Yuntoro, saat berkunjung ke Kantor Sekretariatan DPD Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI) Lampung. Sabtu, 02 Februari 2019.
Hari ini, Senin 04 Februari 2019, intruksi Wilter Lampung, GMBI Distrik Tanggamus layangkan surat ke Kejari Tanggamus, meminta agar dilakukan penegakan hukum terhadap oknum pelaku Pungli PTSL di Pekon Ketapang, Kecamtan Limau, Tanggamus.
"Dengan adanya aksi tanggal 30 Januari 2019 kemarin, hari ini kami layangkan surat ke Kejari Tanggamus, dengan No: 38/LSM-GMBI/DISTRIK/TGM/II/2019, meminta adanya penegakan hukum dan melakukan penangkapan serta penahanan terhadap oknum pelaku Pungli PTSL terkait,"ungkap Ketua GMBI Distrik Tanggamus, Amroni.
Amroni melanjutkan, surat ini bentuk keseriusan GMBI terus mengawal permasalahan Pungli PTSL di Tanggamus, khususnya di Pekon Ketapang Kecamatan Limau yang jelas jauh melanggar sebagaimana ketentuan SKB 3 Menteri.
Dalam SKB 3 Menteri, jelas menyatakan dalam rangka penyeragaman pembiayaan PTSL oleh Pemerintah dan membebaskan pembiayaannya kepada masayarakat, perlu dilakukan penyeragaman biaya PTSL bagi setiap pemohon hanya di kenakan biaya maksimal Rp200.000/bidang untuk kategori wilayah zona IV Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalsel.
Tetapi fakta terjadi di Pekon Ketapang, Kecamatan Limau, masyarakat (Pemohon PTSL) di pungut biaya diatas ketentuan SKB tersebut, dengan nilai variatif Rp500 Ribu, Rp700 Ribu dan Rp1 Juta.
Besaran nilai yang ditarik itu, berlindung pada Peraturan Pemekonan yang dibuat oleh Kepala Pekon Ketapang No.05 tahun 2017 tentang pembiayaan sertifikat Massal (Prona) untuk PTSL.
"Di dalam Rancangan Anggaran Biaya disebutkan peruntukan biaya tersebut kan peruntukkannya yakni Insentif Panitia Pokmas Rp.150.000/berkas,
Insentif Kepala Pekon Rp.50.000/ berkas, Insentif Pembina Pokmas(Ketua BHP dan Sekdes)Rp.50.000/berkas,Biaya Administrasi Pekon Rp.100.000/berkas,"ungkap Amroni.
Amroni melanjutkan, sementara pasal 3 di Permendagri No.111 tahun 2014 tentang Pedoman Teknis peraturan di Desa menyatakan "Peraturan di Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, di larang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Artinya jelas bahwa, Pekon Ketapang yang menentukan pungutan biaya PTSL itu bertentangan dengan SKB 3 Menteri di bagian kesatu dan bagian ke enam. Biaya yang ditentukan di Pekon Ketapang diluar batas kewajaran. Di duga hanya menguntungkan memperkaya oknum tertentu dan diduga juga salah satu bentuk penyalah gunaan wewenang oknum Kepala Pekon.
Dari ini, dikatakan Amroni, contoh kasus di Polres Mojokerto Jatim, Kades dan Panitia PTSL di "BUI", dengan modus panitia sepakat membuat pungutan Rp600 Ribu/berkas pemohon PTSL. Para tersangka dikenakan Pasal 12 huruf e terkait pemerasan dan pasal 11 terkait gratifikasi UU RI No.20 tahun 2001.
Kemudian di dalam pasal 20 ayat 3, Permendagri No.111, dalam hal hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, bertentangan dengan kepentingan umum dan atau ketentuan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, Bupati/Wali Kota membatalkan Peraturan Desa tersebut dengan Keputusan Bupati.
"Dasar hal di atas tindakan itu jelas merupakan tindak pidana korupsi sesuai tentang tindak pidana pemberantasan korupsi. Sementara di Tanggamus, hingga saat ini, pihak Kejari Tanggamus belum juga melakukan hal dalam upaya penegakan hukum yang kemudian melakukan penangkapan /Penahanan terhadap pelaku. Begitu juga pihak pimpinan Pemkab, segera melakukan evaluasi dan me Non-job kan Kabag hukum, Tapem yang dinilai lalai secara tidak langsung mengamini tindakan melawan hukum Pungli,"tegasnya.
Sebelumnya, Rabu 30 Januari 2019, LSM GMBI datangi Kejari dan Pemkab Tanggamus guna menyampaikan dan meminta penegakan hukum atas dugaan pungli atas program PTSL tersebut.
Dalam ruang kerja Kasi Intelijen mewakili Kajari David P.Duarsa, tim GMBI berikut Ketua Wilter dan Divpam serta Biro Hukum GMBI, memaparkan persoalan dan mendesak penegakan hukum yang terjadi di tingkat masyarakat kecil.
Seusainya, jajaran GMBI dan rombongan menuju kantor Bupati Tanggamus yang di terima oleh Asisten I Jonsen Vanesa beserta Inspektur Fathurrahman dan Bagian Hukum Pemkab setempat, menyampaikan hal serupa.
Dalam pemaparan Ketua GMBI Wilter Lampung, Ali M, bahwa selama ini masyarakat mengeluh dengan besarnya pembuatan PTSL, khususnya pungutan yang ditarik pihak Pokmas yang diketahui pihak Pekon. Pungutan yang terjadi melebihi tarif resmi PTSL Rp200 Ribu/Sertifikat sesuai SKB 3 menteri.
Pihak pokmas dan pekon beralasan sudah ada Perbup No 31 tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Guna Meningkatkan Pembangunan di Kabupaten Tanggamus. Itu jadi dasar pekon membuat peraturan Pekon (Perpekon) untuk fasilitasi pembuatan PTSL.
"Isi Perbub, apabila ada penambahan biaya di luar ketentuan di atas seperti biaya pembuatan atas hak, penambahan material, patok, serta biaya akomodasi petugas pekon yang jarak lokasinya jauh, akan diatur dalam Peraturan Pemekonan dengan berpedoman pada Permendagri No.111 tahun 2014 dan disertai bukti pengeluaran yang transparan dan akuntabel,"jelasnya.
Masih kata Ali, Peraturan itu dianggap terlalu luas, tidak ada batasan patokan nilai biaya. Sehingga dimanfaatkan pokmas mematok biaya besar ke masyarakat. Pokmas ada yang meminta pungutan mulai dari Rp700 Ribu sampai Rp1Juta yang selanjutnya ditambah dengan tarif resmi PTSL yang merupakan salah satu target nasional, lewat kesepakatan bersama Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal.
"Padahal Instruksi presiden jelas, jika terdapat hal yang tak sesuai atas program PTSL, apa pun alasannya, segera laporkan dan akan ditindak tegas. Maka patut di tanyakan, apakah dibenarkan kalau biaya pembuatan sertifikat tersebut,?"ungkap Ali.
Menanggapi ini, Kasi Intelejen Kejari Tanggamus, Ridho Rama mengatakan, "Memang perlu ada regulasi resmi tentang besar nominal yang bisa ditarik pokmas dalam PTSL. Pemkab harus lakukan review, jangan sampai multitafsir, sebaiknya ditetapkan secara pasti berapa biaya yang boleh ditarik. Sebab di Perbup tidak ada batasan resmi besar nominal, sehingga ada kerawanan,"ulasnya.
Disisi lain, Asisten I Jonsen Vanesa mengungkapkan, "Sementara ini Pemkab belum mengambil sikap, dan akan membentuk tim dahulu soal pembuatan Peraturan Pekon tersebut,"katanya. (Saripudin-Tim AJOI)