Suaralampung.com, Jakarta— Selain penelitian yang dilakukan Kelompok Studi Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Balai Besar Kimia, Farmasi, dan Kemasan (BBKFK) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga membuktikan bahwa migrasi Bisfenol-A (BPA) dari galon Polikarbonat berbagai merek yang diteliti masih jauh di bawah ambang batas aman yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Artinya, galon-galon tersebut masih aman untuk digunakan sebagai kemasan air minum.
Manajer Teknis BBKFK Kemenperin, Roni Kristiono, menuturkan BBKFK baru-baru ini telah melakukan penelitian terhadap migrasi BPA galon Polikarbonat berbagai merek. “Sampai bulan ini kita ada 8 perusahaan yang mengajukan uji migrasi BPA dari galon Polikarbonat,” tuturnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, dia mengungkapkan bahwa hasil migrasi BPA dari galon-galon Polikarbonat itu tidak ada yang melebihi ambang batas aman yang ditetapkan BPOM sebesar 0,6 bpj. “Kalau yang masuk ke kita, nilainya itu masih dalam batas ambang semua. Kita juga uji tiga kali setiap 10 hari, tetap masih di bawah batas ambangnya,” tuturnya.
Menurutnya, alat deteksi untuk membaca migrasi BPA dari galon Polikarbonat di BBFKK ini memiliki keterbatasan. Limit deteksi baca alatnya hanya sampai 0,012 bpj saja. “Nah, rata-rata migrasi BPA dari galon-galon Polikarbonat yang kita teliti itu masih jauh di bawah angka 0,012 bpj sehingga tidak bisa terbaca. Tapi juga ada yang 0,1 bpj. Tapi, semua masih di bawah batas ambang aman yang ditetapkan BPOM,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran Institut Teknolgi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin menyatakan hasil penelitian terbaru terhadap air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan Polikarbonat tidak menunjukkan adanya kandungan zat berbahaya Bisfenol-A (BPA).
Kelompok Studi Polimer Institut Teknologi Bandun (ITB), tambahnya, melakukan penelitian yang menguji keamanan dan kualitas air minum dalam kemasan galon berbahan Polikarbonat (PC) dari berbagai merek ternama di Provinsi Jawa Barat.
Dikatakannya, studi tersebut berfokus untuk mendeteksi peluruhan atau migrasi BPA dari kemasan galon berbahan Polikarbonat ke dalam air minum terhadap empat sampel dari merek AMDK terpopuler. "Dari penelitian yang kami lakukan, kami tidak mendeteksi (non-detected/ND) BPA di semua sampel AMDK yang diuji," ujarnya.
Artinya, menurut dia, kadar BPA masih sangat aman, berada jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan otoritas keamanan pangan nasional dan internasional, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Penelitian ini menunjukkan semua sampel air minum yang diuji terbukti aman untuk dikonsumsi masyarakat dan telah sesuai dengan standar serta regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga standar internasional,” katanya.
Zainal memaparkan penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari upaya mengedukasi masyarakat mengenai kualitas dan keamanan AMDK yang berbasis pada serangkaian uji ilmiah yang ketat, terpercaya, dan independen.
Penelitian tersebut mengikuti metode uji baku keamanan dan kualitas air minum nasional dan internasional, baik standar dari BPOM, SNI, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), maupun American Public Health Association (APHA), dengan menggunakan detail analisis kimia dari Association of Official Analytical Chemist International (AOAC).
Ditambahkannya, penelitian dilakukan menggunakan alat ukur canggih yaitu High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terkenal akan ketepatan akurasinya, dengan nilai Limit of Detection (LoD) sebesar 0,0099 mikrogram per liter (mcg/L), sedangkan, menurut Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019, ambang batas maksimum migrasi BPA dalam wadah penyimpanan adalah 600 mikrogram per liter (0,6 ppm).