Tanggamus, — Di sebuah rumah kecil dan sederhana, di Pekon Sinar Banten, Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus, tinggal seorang pria bernama Rosidi. Ia bukan siapa-siapa. Ia bukan pejabat, bukan orang kaya. Ia hanyalah seorang warga biasa yang kini menjalani hari-harinya dalam sunyi, sepi, dan tanpa harapan. Minggu malam (13 Juli 2025).
Empat tahun lalu, pada 5 Juni 2021, hidup Rosidi berubah dalam sekejap. Sebuah mobil tronton melindas tubuhnya dalam kecelakaan tragis. Kedua kakinya hancur, dan saat ia siuman di rumah sakit Martapura Palembang, yang tersisa hanyalah tubuh separuh dua kakinya telah diamputasi.
Namun luka paling dalam bukan hanya kehilangan kakinya.
“Beberapa minggu setelah saya pulang dari rumah sakit, istri saya minta pisah... katanya saya bukan laki-laki utuh lagi. Dia pergi, saya ditinggal sendiri.” Ungkapnya.
Kalimat itu diucapkan Rosidi sambil menunduk dalam, matanya merah basah. Sejak itu, ia hidup sebatang kara. Duda, tanpa kaki, dan tanpa siapa-siapa. Ia bahkan tak memiliki anak. Yang tersisa hanyalah tembok tua dan lantai rumah sempit yang tak bisa dilaluinya dengan kursi roda.
Ia pernah mencoba kaki palsu. Tapi hasil amputasi yang buruk membuat tulang-tulangnya menonjol, menekan bagian dalam daging setiap kali ia pakai. Bukan rasa harapan yang datang, tapi sakit luar biasa seperti ditusuk dari dalam.
“Saya coba pakai... tapi rasanya seperti ada pisau di dalam kaki. Saya tak sanggup,” Ucapnya lirih.
Kursi roda pun tak banyak membantu. Rumahnya terlalu sempit. Tidak ada akses jalan yang rata. Ia hanya bisa duduk, memandangi dinding, menunggu waktu berlalu. Kadang sehari penuh tak ada satu pun orang yang datang bicara. Tidak keluarga. Tidak tetangga. Tidak siapa-siapa.
Hari-harinya adalah sepi. Malam-malamnya adalah tangis dalam diam.
Dulu ia bisa bekerja. Dulu ia bisa menghidupi diri. Sekarang? Ia hanya bisa memohon dalam doa, agar masih ada yang peduli. Tapi tahun demi tahun berlalu, dan tak satu pun bantuan datang. Tidak dari pemerintah. Tidak dari siapa pun.
“Saya tidak minta mewah. Saya tidak minta dikasih uang banyak. Saya cuma mau... bisa berdiri. Walau sekali. Walau harus pakai alat bantu. Saya cuma mau tahu, bagaimana rasanya berdiri lagi... sebelum saya mati.”Katanya.
Tangisnya pecah saat mengatakan itu.
Keinginan terakhir seorang pria yang kehilangan segalanya, hanya ingin berdiri sekali lagi. Bukan untuk lari. Bukan untuk berjalan jauh. Tapi hanya agar bisa merasa bahwa dirinya masih manusia. Masih punya harga diri.
Melalui rilis ini, kami ingin mengetuk hati Pemerintah Kabupaten Tanggamus, khususnya Dinas Sosial, anggota DPRD, tokoh masyarakat, komunitas kemanusiaan, dan para dermawan: Lihatlah Rosidi.
Ia tidak pernah mengemis. Ia tidak pernah meminta belas kasihan. Tapi deritanya nyata. Sepinya dalam. Dan harapannya kian pudar.
Rosidi butuh bantuan untuk:
Operasi revisi amputasi agar ia bisa memakai kaki palsu tanpa rasa sakit
Alat bantu jalan yang layak dan sesuai dengan kondisi fisiknya
Perbaikan rumah agar aksesnya ramah disabilitas
Pendampingan psikologis dan sosial agar ia tidak terus hidup dalam sunyi
Kami tidak meminta banyak. Hanya satu langkah kecil untuk Rosidi. Satu alat bantu. Satu bentuk kepedulian. Agar ia bisa bangkit, walau pelan. Berdiri, walau sebentar. Dan tahu bahwa dunia belum sepenuhnya meninggalkannya.
Bila Anda lembaga ingin mengulurkan bantuan kepada Rosidi, kami siap memfasilitasi. Harap hubungi pihak pekon setempat atau redaksi kami. Mari bersama, jadikan satu langkah kecil Rosidi sebagai bukti bahwa kemanusiaan masih hidup di Tanggamus.
“Saya sudah kehilangan segalanya... Tapi saya belum menyerah. Saya masih ingin berdiri. Sekali saja. Sebelum Tuhan benar-benar memanggil saya pulang," Ungkapnya. (Rls/ Apriyadi)